Perkelahian,
atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar.
Bahkan bukan “hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai
ke kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang
wajar pada remaja.
Di
kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering
terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992
tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi
183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus
dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun
1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan
tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari
tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat.
Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian
di tiga tempat sekaligus.
Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat sejak tahun 2011 korban
akibat tawuran pelajar mencapai 339 kasus, dengan korban tewas mencapai
82 korban. Jumlah itu meningkat tajam dari tahun 2010 sebanyak 128
kasus. Hal ini menyusul tewasnya Alawy Yusianto Putra (15) siswa kelas
X-8 dari SMA 6.
Ketua Satgas Perlindungan Anak Komisi Nasional Perlindungan Anak, M. Ihsan mengatakan pihaknya mencatat selama kurun waktu dua bulan terakhir saja, korban tewas akibat tawuran pelajar selain Alawy, yakni Dedi Triyuda (12/09/12) siswa SMK Baskara Depok kejadian pada 12 September kemarin.
"Kemudian, ada Rudi Noval Ashari siswa SMKM Bogor kejadian 30 Agustus 2012 silam, serta Ahmad Yani siswa SMK 39 di Klender.
Lalu, pada tanggal 29 Agustus 2012 ada Jatsuli dari SMP 6 Buaran Klender, sebelumnya pada 6 Agustus 2012 ada Jeremy Hasibuan siswa SMA Kartika di Bintaro, Tangerang," kata Ketua Satgas Perlindungan Anak, M. Ihsan dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (26/9).
Ketua Satgas Perlindungan Anak Komisi Nasional Perlindungan Anak, M. Ihsan mengatakan pihaknya mencatat selama kurun waktu dua bulan terakhir saja, korban tewas akibat tawuran pelajar selain Alawy, yakni Dedi Triyuda (12/09/12) siswa SMK Baskara Depok kejadian pada 12 September kemarin.
"Kemudian, ada Rudi Noval Ashari siswa SMKM Bogor kejadian 30 Agustus 2012 silam, serta Ahmad Yani siswa SMK 39 di Klender.
Lalu, pada tanggal 29 Agustus 2012 ada Jatsuli dari SMP 6 Buaran Klender, sebelumnya pada 6 Agustus 2012 ada Jeremy Hasibuan siswa SMA Kartika di Bintaro, Tangerang," kata Ketua Satgas Perlindungan Anak, M. Ihsan dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (26/9).
DAMPAK PERKELAHIAN PELAJAR
Jelas
bahwa perkelahian pelajar ini merugikan banyak pihak. Paling tidak ada
empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar
(dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami
dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua,
rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta
fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya
proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang paling
dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa
terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para
pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif
untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan
apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas
memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup
bermasyarakat di Indonesia.
PANDANGAN UMUM TERHADAP PENYEBAB PERKELAHIAN PELAJAR
Sering
dituduhkan, pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah kejuruan,
berasal dari keluarga dengan ekonomi yang lemah. Data di Jakarta tidak
mendukung hal ini. Dari 275 sekolah yang sering terlibat perkelahian, 77
di antaranya adalah sekolah menengah umum. Begitu juga dari tingkat
ekonominya, yang menunjukkan ada sebagian pelajar yang sering berkelahi
berasal dari keluarga mampu secara ekonomi. Tuduhan lain juga sering
dialamatkan ke sekolah yang dirasa kurang memberikan pendidikan agama
dan moral yang baik. Begitu juga pada keluarga yang dikatakan kurang
harmonis dan sering tidak berada di rumah.
Padahal
penyebab perkelahian pelajar tidaklah sesederhana itu. Terutama di kota
besar, masalahnya sedemikian kompleks, meliputi faktor sosiologis,
budaya, psikologis, juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum
yang padat misalnya), serta kebijakan publik lainnya seperti angkutan
umum dan tata kota.
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency).
Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2
jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik. Pada delikuensi
situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang
“mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul
akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan
pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu
berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan,
norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk
berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang
diharapkan oleh kelompoknya.
TINJAUAN PSIKOLOGI PENYEBAB REMAJA TERLIBAT PERKELAHIAN PELAJAR
Dalam
pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara
kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau
tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal
perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor
psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
- Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
- Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
- Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
- Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
Source :
Sander Diki Zulkarnaen, M.Psi
http://www.kpai.go.id
http://www.kpai.go.id
http://news.liputan6.com
No comments:
Post a Comment
Semoga semua yang di posting disini bermanfaat buat semua pembaca blogger..