Ketika kita menemui orang yang tidak mau terlibat dalam proses perubahan di
organisasinya, kita menyebut orang itu resisten. Ketika kita menjumpai
orang yang malas-malasan dalam bekerja, kita menyebut orang itu tidak
punya ketangguhan motivasi. Dan ketika kita bertemu dengan orang yang
kurang tekun meraih aspirasinya, kita menyebutnya sebagai orang yang
tidak punya kemauan kuat untuk sukses.
Pak Mamat itu mah orangnya resisten, tidak mau berubah. Kalau Mas
Dodo itu memang tidak punya motivasi untuk bekerja. Wah, kalau mbak Siti
memang dari dulu tidak punya kemauan tinggi untuk berhasil.
Betapa seringnya kita menjumpai ucapan seperti itu. Dan harap
sodara-sodara ketahui : semua ucapan itu wrong, wrong and wrong. Semua
kalimat itu adalah sejenis kutukan yang akan membawa kita jatuh dalam willpower trap.
Willpower trap adalah sejenis jebakan yang akan membawa kita untuk
segera menuding kekuatan willpower (kemauan atau motivasai diri) sebagai
biang keladi ketika kita menjumpai ketidakberhasilan seseorang.
Kenapa banyak orang tidak rajin berolahraga. Yah, karena banyak orang
yang malas, dan tidak punya motivasi. Kenapa banyak orang mengerjakan
tugas kantor selalu pas di ujung deadline. Yah, karena banyak orang yang
tidak punya disiplin diri mengatur waktu.
Atau dua amsal lain : kenapa banyak orang yang berkeinginan memiliki
usaha sendiri, namun banyak pula yang tidak mulai-mulai. Yah, karena
mereka semua penakut dan tidak punya kemauan kuat untuk jadi pengusaha.
Atau contoh ini : kenapa banyak umat Muslim yang tidak pernah shalat
Subuh berjemaaah di mesjid. Yah, karena mereka semua males-males.
Semua contoh diatas adalah tanda kita terpelanting dalam willpower
trap : atau sikap yang menjadikan kemauan diri (willpower) sebagai biang
keladi. Akibat asumsi yang keliru ini, kita kemudian meracik jurus
solusi yang juga jadi “lucu”.
Begitulah, karena menganggap karyawan kita kurang motivasi lalu kita mengundang ahli motivasi :
yang dengan gagah menjelaskan bahwa kerja itu bukan sekedar tindakan
fisik dan mencari uang belaka (jadi kalau begitu untuk cari apa dong).
Dan bahwa kerja itu bagian dari ibadah yang mesti kita tekuni dengan
penuh dedikasi (aih, aih, betapa manisnya kalimat ini. Problemnya,
minggu depan para karyawan itu kembali ke mode tulalit).
Atau untuk mendorong banyak orang jadi entrepreneur, lantas
ramai-ramai muncul seminar dengan tema seperti itu (harapannya dengan
itu banyak orang terdorong jadi saudagar).
Atau untuk membuat orang berbondong-bondong shalat Subuh di mesjid,
kita hadirkan ustadz-ustadz keren di layar televisi (yang mengabarkan
kemuliaan shalat berjemaah di mesjid).
Problemnya : semua solusi itu keliru karena tergelincir dalam
willpower trap tadi. Keliru karena berangkat dari asumsi yang juga
keliru : yakni bahwa penyebab kenapa perilaku orang tidak optimal adalah
karena kemauannya yang kurang.
Padahal riset-riset tentang human behavior menyebut satu elemen yang jauh lebih powerful dalam menentukan perilaku seseorang. Elemen itu adalah KONTEKS. Atau situasi di sekeliling kita. Atau lingkungan dan separangkat infrastruktur yang mengitari kehidupan kita.
Konteks itu bisa berujud macam-macam : bisa berupa sistem reward and
punishment yang jelas, bisa berujud fasilitas gym di dalam kantor, bisa
berupa program mentoring entrepreneur baru, bisa berupa hadirnya mesjid
di depan rumah kita, dan beragam contoh lainnya.
Intinya konteks adalah seperangkat situasi dan infrastruktur yang ada
di sekeliling kita; yang amat berperan dalam menentukan perilaku kita.
Begitulah misalnya, ratusan riset menunjukkan hadirnya sistem reward
dan punishment yang tegas membuat level motivasi karyawan naik 5 kali
lipat lebih tinggi (dan ini tanpa perlu pakar motivasi yang hanya bisa
blah-blah itu). Studi juga menujukkan fasilitas Gym di lingkungan kantor
membuat karyawan lebih rajin tiga kali lipat untuk berolahraga.
Program mentoring untuk menciptakan calon wirausaha baru juga jauh
lebih efektif untuk membangun barisan entrepreneur unggul (dibanding
ratusan seminar).
Dan aha, bangunan mesjid di dekat rumah (apalagi jika mesjidnya indah seperti gambar diatas), ternyata cenderung membuat penghuni rumah itu rajin datang ke mesjid.
Semua ilustrasi diatas adalah contoh kekuatan konteks.
Hadirnya konteks (berupa sistem atau lingkungan infrastruktur) ini
memberikan dorongan powerful untuk mengubah perilaku seseorang. Dan
sebaliknya, tanpa kehadiran konteks yang pas, banyak orang tidak
terdorong untuk mengubah perilaku ke arah yang diiinginkan.
Dengan kata lain, banyak orang yang tidak melakukan perilaku yang
diharapkan, bukan karena orang itu malas, tidak punya motivasi atau
kurang punya kemauan. Study after study menunjukkan, sebabnya lebih
dikarenakan tiadanya konteks yang pas. Atau tidak hadirnya dukungan
sistem dan lingkungan infrastruktur yang mampu mengubah perilakunya.
Demikianlah, kelak ketika Anda merasa kurang berhasil menjalani
impian hidup Anda (berolahraga secara teratur, rajin shalat Subuh di
mesjid, lebih tekun dalam bekerja, lebih gigih dalam meraih cita-cita
menjadi wirausaha sukses), jangan segera menganggap diri Anda malas, dan
menyesali diri sendiri.
Problemnya mungkin konteks di sekeliling Anda yang kurang pas. Dan
karena itu, perlu segera direkayasa agar lebih pas dengan tujuan hidup
Anda. Bahasa kerennya : context reengineering.
Source:
http://strategimanajemen.net
saya suka tulisan ini...semua berawal dari MINDSET...jika salah mensetting akan berdampak fatal...thanks sudah berbagi hal dahsyat dan indah dari mindset dan motivation...tetap berbagi...salam SOBAT !
ReplyDeletenih bagus banget buat nambah pengetahuan tentang granitasi: http://student.blog.dinus.ac.id/sonnyrivai/2016/11/12/notasi-granitasi-rumah/
ReplyDeletehttp://student.blog.dinus.ac.id/sasjepyusufal/2016/11/13/cara-mudah-menyelesaikan-rubik-3x3-untuk-pemula/
ReplyDeleteHiiii, mampir laaa ke blog kuy.