September 30, 2012

Kuis Seminar Psikologi Terapan


Jakarta, Minggu 23 September 2012 pukul 08.00 WIB di ruang D304 Universitas Mercu Buana, berlangsung perkuliahan Seminar Psikologi Terapan oleh Bpk. Filino Firmansyah, M.Psi. 
Seperti minggu sebelumnya, saya juga datang terlambat, telat sekitar 35 menit, ya diakibatkan malamnya bergadang. Karena sabtunya setelah pulang kuliah Proyeksi, saya dan pacar pergi …“you know” hehe.. Oke kita ga usah bahas itu deh, langsung ke intinya aja.
Intinya saya mau share kuis yang diadakan pada hari minggu tersebut ^-^
Mungkin temans bisa menjawabnya. Berikut soalnya :
1.    Apa alasan perlunya Skripsi untuk tingkat sarjana?
2.    Apa yang membedakan Skripsi dengan Laporan Tugas Penelitian?
3.    Jelaskan tahapan penulisan Skripsi!
4.    Apa sebab tahap penemuan masalah itu penting?
Dan bagaimana cara untuk dapat menemukan masalah?
5.    Apa masalah penelitian masalah Anda? Tuliskan manfaat praktis dari penelitian anda tersebut!

Terima kasih dan selamat mengerjakan :D...

September 27, 2012

Willpower Trap : Sepotong Ilusi tentang Kekuatan Motivasi

Ketika kita menemui orang yang tidak mau terlibat dalam proses perubahan di organisasinya, kita menyebut orang itu resisten. Ketika kita menjumpai orang yang malas-malasan dalam bekerja, kita menyebut orang itu tidak punya ketangguhan motivasi. Dan ketika kita bertemu dengan orang yang kurang tekun meraih aspirasinya, kita menyebutnya sebagai orang yang tidak punya kemauan kuat untuk sukses.
Pak Mamat itu mah orangnya resisten, tidak mau berubah. Kalau Mas Dodo itu memang tidak punya motivasi untuk bekerja. Wah, kalau mbak Siti memang dari dulu tidak punya kemauan tinggi untuk berhasil.
Betapa seringnya kita menjumpai ucapan seperti itu. Dan harap sodara-sodara ketahui : semua ucapan itu wrong, wrong and wrong. Semua kalimat itu adalah sejenis kutukan yang akan membawa kita jatuh dalam willpower trap.
Willpower trap adalah sejenis jebakan yang akan membawa kita untuk segera menuding kekuatan willpower (kemauan atau motivasai diri) sebagai biang keladi ketika kita menjumpai ketidakberhasilan seseorang.
Kenapa banyak orang tidak rajin berolahraga. Yah, karena banyak orang yang malas, dan tidak punya motivasi. Kenapa banyak orang mengerjakan tugas kantor selalu pas di ujung deadline. Yah, karena banyak orang yang tidak punya disiplin diri mengatur waktu.
Atau dua amsal lain : kenapa banyak orang yang berkeinginan memiliki usaha sendiri, namun banyak pula yang tidak mulai-mulai. Yah, karena mereka semua penakut dan tidak punya kemauan kuat untuk jadi pengusaha. Atau contoh ini : kenapa banyak umat Muslim yang tidak pernah shalat Subuh berjemaaah di mesjid. Yah, karena mereka semua males-males.
Semua contoh diatas adalah tanda kita terpelanting dalam willpower trap : atau sikap yang menjadikan kemauan diri (willpower) sebagai biang keladi. Akibat asumsi yang keliru ini, kita kemudian meracik jurus solusi yang juga jadi “lucu”.
Begitulah, karena menganggap karyawan kita kurang motivasi lalu kita mengundang ahli motivasi : yang dengan gagah menjelaskan bahwa kerja itu bukan sekedar tindakan fisik dan mencari uang belaka (jadi kalau begitu untuk cari apa dong). Dan bahwa kerja itu bagian dari ibadah yang mesti kita tekuni dengan penuh dedikasi (aih, aih, betapa manisnya kalimat ini. Problemnya, minggu depan para karyawan itu kembali ke mode tulalit).
Atau untuk mendorong banyak orang jadi entrepreneur, lantas ramai-ramai muncul seminar dengan tema seperti itu (harapannya dengan itu banyak orang terdorong jadi saudagar).
Atau untuk membuat orang berbondong-bondong shalat Subuh di mesjid, kita hadirkan ustadz-ustadz keren di layar televisi (yang mengabarkan kemuliaan shalat berjemaah di mesjid).
Problemnya : semua solusi itu keliru karena tergelincir dalam willpower trap tadi. Keliru karena berangkat dari asumsi yang juga keliru : yakni bahwa penyebab kenapa perilaku orang tidak optimal adalah karena kemauannya yang kurang.
Padahal riset-riset tentang human behavior menyebut satu elemen yang jauh lebih powerful dalam menentukan perilaku seseorang. Elemen itu adalah KONTEKS. Atau situasi di sekeliling kita. Atau lingkungan dan separangkat infrastruktur yang mengitari kehidupan kita.
Konteks itu bisa berujud macam-macam : bisa berupa sistem reward and punishment yang jelas, bisa berujud fasilitas gym di dalam kantor, bisa berupa program mentoring entrepreneur baru, bisa berupa hadirnya mesjid di depan rumah kita, dan beragam contoh lainnya.
Intinya konteks adalah seperangkat situasi dan infrastruktur yang ada di sekeliling kita; yang amat berperan dalam menentukan perilaku kita.
Begitulah misalnya, ratusan riset menunjukkan hadirnya sistem reward dan punishment yang tegas membuat level motivasi karyawan naik 5 kali lipat lebih tinggi (dan ini tanpa perlu pakar motivasi yang hanya bisa blah-blah itu). Studi juga menujukkan fasilitas Gym di lingkungan kantor membuat karyawan lebih rajin tiga kali lipat untuk berolahraga.
Program mentoring untuk menciptakan calon wirausaha baru juga jauh lebih efektif untuk membangun barisan entrepreneur unggul (dibanding ratusan seminar).
Dan aha, bangunan mesjid di dekat rumah (apalagi jika mesjidnya indah seperti gambar diatas), ternyata cenderung membuat penghuni rumah itu rajin datang ke mesjid.
Semua ilustrasi diatas adalah contoh kekuatan konteks. Hadirnya konteks (berupa sistem atau lingkungan infrastruktur) ini memberikan dorongan powerful untuk mengubah perilaku seseorang. Dan sebaliknya, tanpa kehadiran konteks yang pas, banyak orang tidak terdorong untuk mengubah perilaku ke arah yang diiinginkan.
Dengan kata lain, banyak orang yang tidak melakukan perilaku yang diharapkan, bukan karena orang itu malas, tidak punya motivasi atau kurang punya kemauan. Study after study menunjukkan, sebabnya lebih dikarenakan tiadanya konteks yang pas. Atau tidak hadirnya dukungan sistem dan lingkungan infrastruktur yang mampu mengubah perilakunya.
Demikianlah, kelak ketika Anda merasa kurang berhasil menjalani impian hidup Anda (berolahraga secara teratur, rajin shalat Subuh di mesjid, lebih tekun dalam bekerja, lebih gigih dalam meraih cita-cita menjadi wirausaha sukses), jangan segera menganggap diri Anda malas, dan menyesali diri sendiri.
Problemnya mungkin konteks di sekeliling Anda yang kurang pas. Dan karena itu, perlu segera direkayasa agar lebih pas dengan tujuan hidup Anda. Bahasa kerennya : context reengineering.
Source:
http://strategimanajemen.net

Career Plan : Jalur Karir yang Harus Anda Tempuh

Bagi sebagian besar orang, meniti karir sebagai pekerja profesional hingga ke puncak tangga prestasi merupakan sebuah impian yang layak dirawat dengan penuh kesetiaan. Sebab disana terbentang sebuah janji kemakmuran finansial yang layak dikejar. Sebab disana terbentang pula sebuah impian kehidupan yang mapan and a dream to build a happy family.
Namun tentu saja, pendakian menuju tangga karir yang makin menjulang bukan sebuah proses yang mudah. Sebagian orang mungkin bisa menembus jalan yang berliku itu, dan tiba pada destinasi karir yang diharapkan. Sebagian yang lain mungkin stuck on the middle of nowhere. Kita ndak tahu apakah Anda akan masuk kategori yang pertama, atau nyungsep pada golongan yang kedua.
Pertanyaan yang lebih fundamental mungkin adalah seperti ini : lalu kira-kira jalan karir semacam apa yang layak ditempuh, dan pada fase usia berapa saja career path itu harus dilalui?
Dari sejumlah studi mengenai career path (jalur karir) kita bisa membayangkan pergerakan karir seperti berikut ini.
Usia 22 – 25 tahun. Entry Level : staf, pelaksana, atau management trainee.
Ini adalah pintu gerbang pertama yang harus dilalui oleh semua orang yang mau merajut sebuah karir yang panjang. Dalam rentang usia itu, seseorang yang baru saja mendapat gelar Sarjana S-1 bisa masuk menjadi karyawan untuk posisi entry level; misal sebagai staf, officer atau masuk dalam program management trainee/management development program (sebuah program penyiapan kader pimpinan dan biasanya mempunyai pola career fast track – karirnya bisa cepat melaju).
Usia 26 – 29 tahun . First line leader : supervisor/asisten manajer.
Setalah dua atau tiga tahun menjadi staf, mestinya kita sudah bisa bergerak untuk menjadi asisten manajer (dalam usia 26 tahunan). Disini kita sudah mulai diuji kecakapan leadership-nya. Inilah sebuah fase dimana kita bisa mendapat bekal yang berharga untuk mendaki menuju karir yang lebih tinggi.
Usia 29 – 35 tahun. Middle Management : Manajer.
Dalam rentang usia ini, semestinya kita sudah harus menapak jalan karir sebagai manajer (entah menjadi Marketing/Brand manager, HR manager, Finance atau IT Manager). Kalau dalam rentang usia ini kita masih belum juga menjadi manajer, mungkin saatnya kita harus melakukan self exploration : dan kemudian merajut action plan apa yang harus segera dijalankan.
Usia 36 – 42 tahun. Senior Management : General Manager/VP/Senior Manager
Dalam rentang usia ini, kita telah bergerak menduduki posisi sebagai senior manajer (general manager atau vice president). Inilah fase usia menuju puncak kematangan; dan tentu saja limpahan fasilitas benefit dan gaji yang besar dari perusahaan.
Usia 42 tahun dan seterusnya. Top Management : Direktur/Managing Director/C-Level.
Dalam usia 40-an tahun, mestinya kita sudah bisa menjadi direktur. Beberapa bulan lalu, dua teman saya yang masing-masing masih berusia 39 tahun dipromosikan menjadi direktur pada dua perusahaan besar multinasional. Kalau kita baru menjadi direktur pada usia 47 atau 50 tahun, wah ya sudah terlalu tua ya.
Itulah peta atau jalur pergerakan karir yang mungkin harus kita lalui. Ada tiga catatan yang layak disampaikan berkaitan dengan jalur karir diatas. 
  1. Yang pertama, jalan karir kita akan relatif lebih menjulang kalau kita bergabung pada perusahaan besar dengan skala region yang luas (kalau bisa skala global). Perusahaan semacam ini menjanjikan posisi karir yang lebih variatif, dan memudahkan kita melakukan mobilitas karir yang rancak.
  2. Catatan kedua, peta karir diatas akan mudah terjadi pada perusahaan dengan kebijakan karir yang progresif, dan tidak melulu bersandar pada senioritas. Perusahaan yang meyakini bahwa setiap orang layak menjadi top talent tanpa memandang usia. Kalau ada anak muda yang kompetensinya sudah bagus, kenapa tidak kita langsung pilih dia menjadi managing director; meskipun usianya mungkin baru 38 tahun?
  3. Catatan ketiga, peta karir diatas dengan mudah bisa dicapai jika kita bisa bergabung dengan perusahaan/anak perusahaan atau unit bisnis yang tengah tumbuh. Artinya kita terlibat sejak perusahaan ini kecil lalu tumbuh menjadi raksasa. Banyak kisah dimana profesional muda yang karirnya melesat lantaran ia turut membidani proses tumbuhnya perusahaan itu sejak kecil hingga menjadi besar. Karir Anda tumbuh sejalan dengan melesatnya bisnis perusahaan dimana Anda berkarir.

Source:
http://strategimanajemen.net

Calon Pemimpin Seluruh Dunia Mempelajari Kemenangan Jokowi

Jokowi sosok pemimpin berjiwah rakyat ini memang gak pernah bisa habis untuk diperbincangkan, 2 x menang suara dalam 2putaran pemilukada DKI. ternyata jokowi menjadi sorotan media dunia atas kemenangan nya dan sosok kesederhanaan nya yang memikat hati masyarakat.
Berbagai media pemberitaan dunia pun saat ini sedang menampilkan theme yang menguak sosok wong deso yang memiliki nama Joko Widodo ini sebagai IDE baru dan terobasan pola pikir masyarakat yang sudah tidak bisa diduga lagi.

Kemenangan Jokowi dalam perhitungan cepat (quick count) pun diberitakan sejumlah media asing. Situs berita The Australian, memuat berita berjudul "Can-do outsider takes reins of must-fix city". "Jokowi, orang luar yang bersemangat, Kamis lalu mengalahkan calon incumbent, Fauzi Bowo dan akan memerintah salah satu kota besar di Asia yang paling disfungsional lima tahun ke depan," demikian dimuat situs berita Australia itu.

Situs berita Inggris, BBC pada 20 September 2012 juga memberitakan tentang kemenangan Jokowi. Dalam artikel berjudul, "Joko Widodo leads Jakarta governor elections", media tersebut menyebut pria Solo memposisikan diri sebagai sosok yang "merakyat".

Analis mengatakan, sosoknya tak tak elitis, bersahaja, cenderung "ndeso" justru menjadi daya tarik utamanya. "Yang membuatnya ia menang dalam pertarungan ketat di Pilkada DKI."

Kabar kemenangan Jokowi juga berhembus sampai Pakistan. Pakistan Observer, mengutip Reuters, menyebut, Jokowi harus menyelesaikan sejumlah masalah perkotaan sesuai dengan janjinya. Apalagi kemenangannya adalah wujud kekecewaan pada pemerintah yang lalu.

Sehari sebelum putaran kedua, Kamis 20 September 2012 lalu, media ternama Amerika Serikat, New York Times memuat artikel berjudul, "Outsider Breathing New Ideas Into Jakarta Election", yang memotret perjalanan Jokowi dalam Pilkada DKI Jakarta. Dari keunggulannya di atas pasangan incumbent hingga pertarungan "Gajah vs Semut", dua partai pendukung Jokowi-Ahok melawan partai-partai besar pendukung Foke-Nara.

"Di Indonesia, negara di mana politisi seringkali berasal dari kalangan elit yang terkait dengan mendiang Presiden Soeharto dan kekuatan militer, Jokowi muncul mewakili generasi baru politisi," demikian dimuat New York Times mengutip pernyataan sejumlah analis.

Media itu juga mengulik asal-usul Jokowi, eksportir furnitur yang masuk dunia politik saat mencalonkan diri sebagai walikota Surakarta tahun 2005 lalu. 
 
Source:
http://www.kautau.com

STOP, TAWURAN PELAJAR!!

Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Bahkan bukan “hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus.

Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat sejak tahun 2011 korban akibat tawuran pelajar mencapai 339 kasus, dengan korban tewas mencapai 82 korban. Jumlah itu meningkat tajam dari tahun 2010 sebanyak 128 kasus. Hal ini menyusul tewasnya Alawy Yusianto Putra (15) siswa kelas X-8 dari SMA 6.

Ketua Satgas Perlindungan Anak Komisi Nasional Perlindungan Anak, M. Ihsan mengatakan pihaknya mencatat selama kurun waktu dua bulan terakhir saja, korban tewas akibat tawuran pelajar selain Alawy, yakni Dedi Triyuda (12/09/12) siswa SMK Baskara Depok kejadian pada 12 September kemarin.

"Kemudian, ada Rudi Noval Ashari siswa SMKM Bogor kejadian 30 Agustus 2012 silam, serta Ahmad Yani siswa SMK 39 di Klender.
Lalu, pada tanggal 29 Agustus 2012 ada Jatsuli dari SMP 6 Buaran Klender, sebelumnya pada 6 Agustus 2012 ada Jeremy Hasibuan siswa SMA Kartika di Bintaro, Tangerang," kata Ketua Satgas Perlindungan Anak, M. Ihsan dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (26/9).

DAMPAK PERKELAHIAN PELAJAR
Jelas bahwa perkelahian pelajar ini merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.

PANDANGAN UMUM TERHADAP PENYEBAB PERKELAHIAN PELAJAR
Sering dituduhkan, pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah kejuruan, berasal dari keluarga dengan ekonomi yang lemah. Data di Jakarta tidak mendukung hal ini. Dari 275 sekolah yang sering terlibat perkelahian, 77 di antaranya adalah sekolah menengah umum. Begitu juga dari tingkat ekonominya, yang menunjukkan ada sebagian pelajar yang sering berkelahi berasal dari keluarga mampu secara ekonomi. Tuduhan lain juga sering dialamatkan ke sekolah yang dirasa kurang memberikan pendidikan agama dan moral yang baik. Begitu juga pada keluarga yang dikatakan kurang harmonis dan sering tidak berada di rumah.
Padahal penyebab perkelahian pelajar tidaklah sesederhana itu. Terutama di kota besar, masalahnya sedemikian kompleks, meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis, juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang padat misalnya), serta kebijakan publik lainnya seperti angkutan umum dan tata kota.
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya.

TINJAUAN PSIKOLOGI PENYEBAB REMAJA TERLIBAT PERKELAHIAN PELAJAR
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
  1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan. 
  2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya. 
  3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya. 
  4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.

Source :
Sander Diki Zulkarnaen, M.Psi
http://www.kpai.go.id
http://news.liputan6.com

9 Langkah Kecil Menghemat Energi

SEBAGIAN orang berpikir bahwa efisiensi energi dibutuhkan banyak biaya dan sering menimbulkan ketidaknyamanan. Padahal, ada banyak langkah kecil yang bisa dilakukan untuk membawa perubahan besar pada efisiensi penggunaan energi.

Apakah Anda selama ini sudah melakukan berbagai usahat tersebut? Jika kurang yakin, Anda bisa menilai diri sendiri bagaimana melakukannya dari pertanyaan berikut ini:

1. Apakah Anda selalu terburu-buru?
Jika Anda seringkali bangun terlambat dan berangkat kerja atau sekolah dengan terburu-buru, pastilah Anda cenderung mengemudi secara agresif. Padahal, ngebut akan membuat boros bahan bakar sebesar 15 persen.

2. Apakah Anda mencuci pakaian dengan air panas?
Dibutuhkan banyak energi untuk memanaskan air, apalagi dalam jumlah banyak untuk mengisi penuh mesin cuci. Bila memungkinkan, gunakan teknologi Tide Cold Water yang bekerja baik pada suhu dingin. Ketika tahap pengeringan, gunakan siklus sensor kering otomatis.

3. Apakah Anda menggunakan mobil untuk menempuh jarak pendek?
Cobalah berjalan, bersepeda atau naik kendaraan umum bila memungkinkan. Berjalan kaki dapat membakar sekaligus menghemat bahan bakar.

4. Apakah Anda membeli lampu pijar karena murah?
Yang benar adalah gunakan lampu CFL (Compact Fluorescents), karena lampu CFL menggunakan seperempat energi dan mampu bertahan sepuluh kali lebih lama dibanding lampu lain.

5. Apakah wastafel atau toilet di rumah Anda bocor?
Kran air dan toilet yang bocor bila dihitung per tahunnya sama saja dengan kehilangan 10.000 galon air.

6. Apakah Anda sering membiarkan peralatan elektronik terpasang saat tidak digunakan?
Jangan lupa mematikan mesin pembuat kopi, televisi dan komputer jika tidak digunakan. Agar lebih hemat energi, gunakan timer dengan jadwal harian dan gerakan sensor lampu saat Anda berjalan masuk ruangan.

7. Apakah filter udara Anda kotor?
AC dan tungku filter udara mudah tersumbat dan mengurangi fungsinya. Beberapa bulan sekali sedot debu di area kumparan.

8. Apakah Anda membuat sampah daur ulang?
Bedakan tempat pembuangan sampah plastik dan sampah daur ulang. Sebaiknya sampah daur ulang atau limbah makanan dikumpulkan menjadi satu untuk dibuat pupuk kompos.

9. Apakah Anda sering membeli air dalam kemasan?
Sebaiknya bawa air dengan botol dari rumah. Selain menghemat uang, tubuh pun senantiasa sehat.

Source:
metrolife

September 21, 2012

Yang Mempengaruhi Persepsi

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi pada dasarnya dibagi menjadi 2 yaitu Faktor Internal dan Faktor Eksternal.

1. Faktor Internal yang mempengaruhi persepsi, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri individu, yang mencakup beberapa hal antara lain :
  • Fisiologis. Informasi masuk melalui alat indera, selanjutnya informasi yang diperoleh ini akan mempengaruhi dan melengkapi usaha untuk memberikan arti terhadap lingkungan sekitarnya. Kapasitas indera untuk mempersepsi pada tiap orang berbeda-beda sehingga interpretasi terhadap lingkungan juga dapat berbeda.
  • Perhatian. Individu memerlukan sejumlah energi yang dikeluarkan untuk memperhatikan atau memfokuskan pada bentuk fisik dan fasilitas mental yang ada pada suatu obyek. Energi tiap orang berbeda-beda sehingga perhatian seseorang terhadap obyek juga berbeda dan hal ini akan mempengaruhi persepsi terhadap suatu obyek.
  • Minat. Persepsi terhadap suatu obyek bervariasi tergantung pada seberapa banyak energi atau perceptual vigilance yang digerakkan untuk mempersepsi. Perceptual vigilance merupakan kecenderungan seseorang untuk memperhatikan tipe tertentu dari stimulus atau dapat dikatakan sebagai minat.
  • Kebutuhan yang searah. Faktor ini dapat dilihat dari bagaimana kuatnya seseorang individu mencari obyek-obyek atau pesan yang dapat memberikan jawaban sesuai dengan dirinya.
  • Pengalaman dan ingatan. Pengalaman dapat dikatakan tergantung pada ingatan dalam arti sejauh mana seseorang dapat mengingat kejadian-kejadian lampau untuk mengetahui suatu rangsang dalam pengertian luas.
  • Suasana hati. Keadaan emosi mempengaruhi perilaku seseorang, mood ini menunjukkan bagaimana perasaan seseorang pada waktu yang dapat mempengaruhi bagaimana seseorang dalam menerima, bereaksi dan mengingat.
2. Faktor Eksternal yang mempengaruhi persepsi, merupakan karakteristik dari linkungan dan obyek-obyek yang terlibat didalamnya. Elemen-elemen tersebut dapat mengubah sudut pandang seseorang terhadap dunia sekitarnya dan mempengaruhi bagaimana seseoarang merasakannya atau menerimanya. Sementara itu faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi adalah :
  • Ukuran dan penempatan dari obyek atau stimulus. Faktor ini menyatakan bahwa semakin besrnya hubungan suatu obyek, maka semakin mudah untuk dipahami. Bentuk ini akan mempengaruhi persepsi individu dan dengan melihat bentuk ukuran suatu obyek individu akan mudah untuk perhatian pada gilirannya membentuk persepsi.
  • Warna dari obyek-obyek. Obyek-obyek yang mempunyai cahaya lebih banyak, akan lebih mudah dipahami (to be perceived) dibandingkan dengan yang sedikit.
  • Keunikan dan kekontrasan stimulus. Stimulus luar yang penampilannya dengan latarbelakang dan sekelilingnya yang sama sekali di luar sangkaan individu yang lain akan banyak menarik perhatian.
  • Intensitas dan kekuatan dari stimulus. Stimulus dari luar akan memberi makna lebih bila lebih sering diperhatikan dibandingkan dengan yang hanya sekali dilihat. Kekuatan dari stimulus merupakan daya dari suatu obyek yang bisa mempengaruhi persepsi.
  • Motion atau gerakan. Individu akan banyak memberikan perhatian terhadap obyek yang memberikan gerakan dalam jangkauan pandangan dibandingkan obyek yang diam.
Source: duniapsikologi.com

Pertemuan Pertama Matkul Konstruksi Alat Ukur Psikologi (KAUP)

Jakarta, Minggu 16 September 2012 pukul 13.30 WIB di ruang D201 Universitas Mercu Buana, berlangsung perkuliahan Konstruksi Alat Ukur Psikologi (KAUP) oleh dosen Bpk. Seta Wicaksana, M.Psi. 
Hari itu adalah pertemuan pertama kami dengan Beliau. Tapi saya terlambat selama 30 menit, seperti biasa dalam pertemuan pertama pasti ada sesi perkenalan baik antara dosen dengan mahasiswa begitu juga sebaliknya antara mahasiswa dengan dosen. Dalam sesi perkenalan ini kami menyebutkan; nama, pekerjaan dan jabatan di pekerjaan. Bapak begitu banyak menceritakan tentang kehidupannya dan kamipun asyik mendengarkannya.
Yapps selesailah sesi perkenalan, dan melanjutkan ke inti mata kuliah KAUP, disini Bapak langsung memberi tugas kepada Mahasiswanya untuk membuat blog dan dalam blog itu diisi tentang pelajaran yang kita bahas setiap pertemuan perkuliahan. 
Sebelum perkuliahan berakhir, dibentuk kelompok belajar KAUP, satu kelompok terdiri dari empat orang atas perhitungan nomor tempat duduk yang terdiri dari tujuh kelompok. Selain itu juga adanya komitmen tentang kehadiran dan keterlambatan dalam mata kuliah KAUP ini.
Yaahh tidak terasa waktunya untuk pulang, waktu telah menunjukkan pukul 15.45 WIB. Senang sih akhirnya pulang juga setelah kuliah dari jam 08.00 WIB karena besok paginya sudah kerja lagi ^0^..
                                                                        
                                                                          EMY PUSPITA SARI
                                                                          46109110092

Electra Complex??

Electra Complex [Kompleks Electra] adalah istilah psikoanalisis yang digunakan untuk menggambarkan perasaan romantis seorang gadis terhadap ayahnya dan marah terhadap ibunya. Electra complex [Kompleks Electra] seperti halnya dengan Oedipal Complex [Kompleks Oedipus] pada laki-laki.

Menurut Sigmund Freud, perkembangan psikoseksual seorang anak perempuan pada awalnya melekat pada ibunya. Ketika ia menemukan bahwa ia tidak memiliki penis, ia menjadi melekat pada ayahnya dan mulai membenci ibunya, yang menganggap ibunya telah melakukan “pengebirian dirinya”. Freud percaya bahwa seorang anak perempuan kemudian mulai mengidentifikasi dan meniru ibunya karena takut kehilangan cinta ayahnya.

Istilah Electra Kompleks memang sering dikaitkan dengan Freud, namun sebenarnya Carl Jung telah menciptakan istilah ini pada tahun 1913. Freud sendiri menolak istilah tersebut, karena menggambarkan penyederhanaan upaya untuk memahami analogi antara sikap dari dua jenis kelamin. Freud sendiri menggunakan istilah Oedipus sebagai sebuah sikap feminin untuk menggambarkan apa yang sekarang kita sebut sebagai Electra complex [Kompleks Electra].

Oedipal Complex [kompleks Oedipus]
Oedipal Complex [kompleks Oedipus] merupakan suatu istilah yang digunakan oleh Freud dalam teorinya tentang tahap perkembangan psikoseksual untuk menggambarkan perasaan seorang anak laki-laki yang mencintai untuk ibunya, disertai rasa cemburu dan kemarahan terhadap ayahnya. Menurut Freud, anak laki-laki itu ingin memiliki ibunya dan menggantikan ayahnya, yang ia dilihat sebagai pesaing untuk mendapatkan kasih sayang ibunya. Oedipal Complex terinspirasi dari karakter di Sophocles [cerita kuno yunani] dimana ‘Oedipus Rex yang secara tidak sengaja membunuh ayahnya dan menikahi ibunya.
Source:
http://duniapsikologi.dagdigdug.com

Perbandingan Berbagai Teori Perkembangan Karir

(Teori Trait and factor , Ginzberg, Super, Holand, dan Hoppock)

Teori Trait and factor
Teori Trait and factor memandang bahwa individu memiliki pola kemampuan dan potensi yang dapat diketahui melalui instrument tes, dan dapat juga dilihat kualitasnya, sebagai syarat-syarat yang dituntut dalam berbagai bidang pekerjaan sehingga dapat dipadukan kedua aspek itu dalam pemilihan pekerjaan.
Kekuatan teori ini adalah mengungkapkan data keterangan tentang potensi yang dimiliki individu dengan berbagai instrumen tes, sehingga data yang didapat cukup valid. Individu juga akan memperoleh berbagai informasi tentang pekerjaan yang dibutuhkan.
Kelemahannya adalah pilihan pekerjaan yang diberikan pada individu cuma satu, sehingga akan timbul kesulitan pada individu tersebut seandainya pekerjaan tersebut tidak diperoleh. Klien hanya bersifat pasif, dan sulit diterapkan di sekolah bila tidak memiliki instrumen pengumpul datanya.
Teori Ginzberg
Menurut pandangan teori ini pilihan karir tidak hanya terjadi sekali saja melainkan mengalami suatu proses erkembangan yang meliputi jangka waktu tertentu. Sehingga pilihan-pilihan yang dibuat awal proses perkembangan vokasional berpengaruh terhadap pilaihan selanjutnya, dengan demikian suatu keputusan yang diambil dapat ditinjau kembali.
Kelompok ini berpendapat ada empat variabel penting yang berpengaruh terhadap pilihan karir yaitu faktor realita, proses pendidikan, emosional dan nilai-nilai individuyang dianggap perlu dalam pemilihan karir.
Kekuatan teori ini adalah dengan melewati fase seorang individu secara berangsur-angsur dalam jabatan, dan sifatnya yang masih sementara sampai orang dewasa dapat membuat pilihan jabatan untuk mendapatkan karirnya.
Kelemahannya terletak pada keterkaitan individu pada fase yang dilalui.
 
Teori Super
Menurut Super rentang kehidupan dan ruang kehidupan ssebagai rancangan untuk perkembangan karir yang digambarkan berupa pelangi karir kehidupan. Tahap-tahap perkembangan karir Super adalah :
· Tahap pertumbuhan ( 0- 14 thn)
· Tahap eksplorasi ( 15 –24 thn)
· Tahap pembentukan ( 25 – 44 thn)
· Tahap pemeliharaan ( 45- 60 thn)
· Tahap kemunduran (61 keatas)
Unsur yang mendasar pada teori Super adalah konsep atau gambaran dirisehubungan dengan pekerjaan yang akan dilakukan dan jabatan yang akan dipegang, yang merupakan sebagian dari keseuruhan gambaran tentang diri sendiri yang memungkinkan untuk mencapai suksesdan merasa puas. Konsep diri merupakan perpaduan antara kemampuan dasar yang dimiliki dan interaksi antara individu dengan lingkungannya sehingga terbentuk pola karir.
Kekuatan teori ini terletak pada kemampuan individu untuk mewujudkan kosep diri dalam suatu bidang jabatan yang paling diinginkan untuk mengekspresikan diri sendiri dan juga berkaitan dengan piliihan terhadap peran yang dimiliki. Tersdianya kesempatan untuk mengambil keputusan sepanjang hidup.
Kelemahannya adalah seseorang yang tidak mempunyai konsep diri yang positif akan sulit untuk mewujudkan dirinya pada suatu bidang pekerjaan., dan bila perkembangan melalui tahap kehidupan tidak mendapat bimbingan dan arahan akan mendapat kesulitan bagi individu mengembangkan konsep diri dan potensi yang dimiliki.
 
Teori Holand
Holand mengembangkan teori pemilihan karir dengan mengkhususkan pada pengembangan enam type kepribadian, yaitu : Tipe realistik, investigatif, artistik, sosial, usaha, dan konvensional.
Dalam teori ini menyakinkan bahwa suatu minat yang menyangkut pekerjaan dan jabatan adalah hasil perpaduan dari pengalaman hidup seseorang dengan kepribadiannya, sehingga minat tertentu menjadi ciri kepribadian berupa ekspresi diri dalam bidang pekerjaan.
Kekuatan teori ini dibanding dengan teori lain lebih kofehenship dengan memadukan sain yang telah ada, sedangkan yang lain lebih menekankan pada salah satu aspek saja. Di masyarakat pada umumnya individu dapat digolongkan dalam satu dari enam model orientasi, sehingga type model ini akan menjadi kepribadiannya.
Kelemahannya adalah individu terkait pada enam tipe kepribadian yang telah ada, sehingga bila ada individu yang memiliki kepibadian di luar asek itu akan sulit menempatkannya pada bidang pekerjaan yang akan dimasukinya, dan juga belum ada lingkungan kerja sepenuhnya merupakan satu tipe.
Teori Hoppock
Hoppock menekankan pilihan karir pada kebutuhan yang dimiliki seseorang, baik kebutuhan fisik dan psikis. Dimana kebutuhan akan dapat mempengaruhi seseorang memilih pekerjaan, sehingga timbul kepuasan atas terpenuhinya kebutuhan.
Kekuatan teori ini adalah pemilihan suatu pekerjaan dilakukan individu dengan mempertimbangkan berbagai kebutuhan yang harus dipenuhinya dalam kehidupan, sehingga apa yang dipilih itu memenuhi kebutuhan akan menimbulkan kepuasan dan kesenangan dalam hidup.
Kelemahannya adalah setiap individu memiliki kebutuhan yang beragam sehingga sulit menentukan mana kebutuhan yang lebih dominan untuk dipenuhi, dan akan seringnya individu berganti atau beralih pekerjaan karena kebutuhan tiap individu setiap saat dapat berubah.


Source :
Gani,Ruslan A. 1996. Bimbingan Karier,Bandung, Angkasa.
Sharf, Richard. 1992. Applyig Carrer Development Theory to Cuonseling. California, Widswort.
Winkel, W.S & Sri Hastuti. 2005. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: PT. Grasindo

Teori-Teori Kebenaran

1. Teori Koresponden  
Menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Dengan kata lain, kebenaran atau keadaan benar itu berupa kesesuaian [correspondence] antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh terjadi merupakan kenyataan atau faktanya. Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :
  • Pernyataan (statement)
  • Persesuaian (agreemant)
  • Situasi (situation)
  • Kenyataan (realitas)
  • Putusan (judgements)
2. Teori Konsistensi  
Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap reliable jika kesan-kesan yang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain. Dengan kata lain, kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan akui benarnya terlebih dahulu.
3. Teori Pragmatisme  
Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal para pendidik sebagai metode project atau metode problem solving dalam pengajaran. Mereka dinyatakan benar hanya jika mereka mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengembalikan pribadi manusia di dalamvkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
4. Kebenaran Religius/Kebenaran Performatif  Kebenaran tak cukup hanya diukur dengan rasio dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan oksiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu. Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.
5. Teori Kebenaran Konsensus   Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut.
Source :
Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Syam, Muhammad Noor. 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional

September 20, 2012

Berapa banyak emosi yang dimiliki manusia?


Sulit untuk mengetahui jumlah emosi berdasarkan kata-kata emosi karena jumlahnya bervariasi dari satu bahasa ke bahasa lain. Namun sebagian ahli menyebutkan bahwa emosi sebenarnya hanya terdiri dari sedikit emosi dasar saja. Selebihnya adalah perpaduan antara emosi-emosi dasar itu. Misalnya Paul Ekman, salah seorang peneliti emosi paling terkemuka, menunjukkan bahwa manusia memiliki 6 emosi dasar, yakni :
  1. Fear (takut)
  2. Anger (marah)
  3. Sadness (sedih)
  4. Happines (bahagia)
  5. Disgust (jijik) 
  6. Surprise (terkejut)
Emosi dasar ini dipercaya dimiliki oleh semua manusia dari budaya manapun juga.
Selain membedakan emosi berdasarkan emosi dasar atau primer dan emosi turunan atau sekunder. Emosi juga bisa dibedakan satu sama lain dengan kategori tertentu. Istilahnya adalah peta emosi. Salah satu pengategorian emosi yang cukup bermanfaat adalah dengan membedakan emosi berdasarkan skenario kognitif yang dimiliki seseorang terhadap emosi yang dialami. Misalnya dibedakan berdasarkan kejadian-kejadian yang menyebabkan emosi, berdasarkan nilai positif dan negatif, berdasarkan kedekatan makna antara kata-kata emosi, dan lainnya.

  • Pembagian Emosi Berdasarkan Nilai Positif dan Negatif
Emosi bisa dibedakan dalam nilai positif dan negatif.  Diantara keduanya terdapat nilai netral. Emosi netral adalah kategori emosi yang tidak jelas posisinya. Kadang bisa sebagai emosi positif kadang bisa sebagai emosi negatif, seperti misalnya terkejut dan heran. Emosi positif berperan dalam memicu munculnya kesejahteraan emosional (emotional well-being) dan memfasilitasi dalam pengaturan emosi negatif. Jika emosi Anda positif, maka Anda akan lebih mudah dalam mengatur emosi negatif yang tiba-tiba datang. Misalnya saat Anda sedang merasa bahagia, tiba-tiba ada yang memaki Anda, maka Anda lebih sulit untuk tersinggung. Emosi-emosi yang bernilai positif diantaranya adalah sayang, suka, cinta, bahagia, gembira, senang, dan lainnya.
Emosi negatif menghasilkan permasalahan yang mengganggu individu maupun masyarakat. Biasanya, orang menekankan pada emosi yang negatif. Anda cenderung untuk lebih memperhatikan emosi-emosi yang bernilai negatif. Misalnya sedih, marah, cemas, tersinggung, benci, jijik, muak, prasangka, takut, curiga dan sejenisnya. Bukankah emosi-emosi itu mengganggu Anda? Mereka yang mudah tersinggung, gampang marah-marah, dan berprasangka tidak akan disukai masyarakat. Mereka yang mengalaminya pun tidak akan merasakan sejahtera dalam hidupnya.
Emosi positif dan negatif sangat mempengaruhi perasaan sejahtera seseorang. Orang yang memiliki banyak emosi positif dan kurang memiliki emosi negatif biasanya merupakan orang-orang yang berbahagia atau sejahtera dalam hidupnya. Sedangkan mereka yang lebih banyak memiliki emosi negatif hidupnya kurang sejahtera. Selain oleh emosi, perasaan sejahtera juga ditentukan oleh kepuasan hidup. Jika seseorang merasa bahwa hidupnya secara keseluruhan memuaskan, maka ia akan mengalami sejahtera (kehidupan yang berbahagia). Singkatnya, seseorang yang memiliki derajat tinggi akan perasaan sejahtera adalah ia yang puas terhadap hidupnya, banyak mengalami emosi yang positif dan kurang mengalami emosi yang negatif.
  • Pembagian Emosi Berdasarkan Skenario Kognitif
Manusia mengategorisasikan segala sesuatu di dunia ini. Begitulah pikiran atau kognisi manusia bekerja. Kategorisasi. Emosi tidak luput dari kategorisasi. Itu artinya, terdapat struktur kognitif dalam emosi, yakni cara bagaimana emosi dibedakan satu sama lain. Sekurangnya terdapat 3 cara dalam membedakan emosi, yakni perbedaan yang terlihat dengan adanya kata-kata emosi yang banyak jumlahnya itu, membedakan berdasarkan kejadian anteseden (yang menimbulkan emosi) dan manifestasi emosi (tanda-tanda munculnya emosi), dan berdasarkan konstruksi peneliti sendiri.
Anna Wierzbicka, seorang peneliti emosi dari Australian National University, membedakan emosi ke dalam 6 kelompok utama yang didasarkan pada tema-tema umum, yakni 1) “Sesuatu yang baik terjadi”, 2) “Sesuatu yang buruk terjadi”, 3) “Sesuatu yang buruk bisa/akan terjadi”, 4) “Saya tidak ingin hal seperti ini untuk terjadi’, 5) ‘berpikir tentang orang lain”, 6) “Berpikir tentang diri sendiri”. Masing-masing dari tema itu terkait dengan beberapa aspek skenario kognitif yang  dimiliki. 
1. Sesuatu yang baik terjadi
Jika Anda mengalami sesuatu yang baik terjadi dalam hidup Anda, misalnya Anda mendapatkan undian, diterima bekerja, mendapatkan kekasih, menggapai impian, maka kira-kira emosi apa yang akan Anda alami? Anda tentu akan merasa bahagia, senang, gembira, suka, riang, damai, nyaman,  nikmat, lega, dan semacamnya.  
2. Sesuatu yang buruk terjadi
Bayangkan jika Anda berada dalam situasi yang buruk? Misalnya Anda dipecat, dimarahi atasan, dikhianati dan sebagainya yang buruk-buruk. Apa yang kira-kira Anda rasakan? Boleh jadi Anda mengalami kesedihan, tertekan, menderita, sakit hati, frustrasi, kecewa, merasa ditolak, atau lainnya yang semacam.
3. Sesuatu yang buruk bisa/akan terjadi
Jika seseorang merasa bahwa sesuatu yang buruk bisa saja terjadi. Misalnya bisa kehilangan orang disayang, kehilangan penghasilan, dirampok, diperkosa, dan sebagainya yang buruk-buruk, maka Anda mungkin mengalami cemas, panik, takut, khawatir, gugup, pucat, was-was, waspada, atau lainnya.
4. Saya tidak ingin hal seperti ini terjadi
Saat Anda tidak menginginkan sesuatu yang Anda alami terjadi, apa yang Anda rasakan? Anda ingin yang terjadi tidak seperti yang Anda alami. Nah, karena itu maka mungkin Anda merasa marah, panas hati, murka, terkejut, atau yang lainnya.
5. Berpikir tentang orang lain
Pada saat Anda memikirkan orang lain, apa saja yang mungkin Anda rasakan? Boleh jadi Anda merasa iri atau cemburu. Mungkin saja Anda merasa kasihan. Bisa juga Anda merasa kagum, salut, terpesona, segan, hormat, curiga, benci, sinis, atau bahkan jijik.
6. Berpikir tentang diri sendiri
Anda juga akan mengalami emosi tertentu ketika berpikir tentang diri Anda sendiri. Coba Anda ingat-ingat apa saja emosi yang biasanya muncul karena berpikir tentang diri sendiri itu. Bisa jadi Anda merasa malu, bingung, merasa bersalah, menyesal, bangga atau yang lainnya.

Source : http://psikologi-online.com